Adv.Lilik Adi Gunawan SH Ungkap Kejanggalan Ekstrem : Mawardi Dipanggil Polda NTB Jadi Saksi Untuk Kasusnya Sendiri

Blog16 Dilihat

*MATARAM* – babelbersuara.com

Dalam sebuah kasus yang mengundang tanda tanya besar tentang konsistensi sistem hukum Indonesia, seorang pria bernama Mawardi kembali berhadapan dengan proses hukum yang menurutnya telah selesai sejak 2019. Yang mengejutkan, kali ini dia dipanggil sebagai “saksi” untuk kasus dirinya sendiri.

Kuasa hukum Mawardi, Adv. Lilik Adi Gunawan,S.H.,dari Kasih Hati Law Firm, mengungkapkan kejanggalan yang disebutnya sebagai “pelanggaran sistematis terhadap asas hukum pidana fundamental” dalam konferensi pers yang digelar Selasa (9/7/2025 ) di Jakarta.

𝙆𝙧𝙤𝙣𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙈𝙚𝙢𝙗𝙞𝙣𝙜𝙪𝙣𝙜𝙠𝙖𝙣

Kasus bermula dari sengketa bisnis tahun 2017 antara Mawardi dan Hasanuddin terkait perjanjian kerjasama lahan senilai Rp 1,314 miliar. Hasanuddin melaporkan Mawardi ke Polda NTB atas dugaan penipuan, yang berujung pada penahanan Mawardi pada Mei 2018.

Namun plot twist terjadi ketika Pengadilan Negeri Mataram pada Maret 2019 memutuskan dalam perkara perdata bahwa justru Hasanuddin yang wanprestasi (ingkar janji), bukan Mawardi. Putusan tersebut menyatakan bahwa perjanjian sah dan Mawardi berhak mendapat pembayaran.

“Putusan pengadilan sudah sangat jelas: klien kami adalah korban, bukan pelaku,” tegas Adv.Lilik Adi Gunawan. “Tapi anehnya, enam tahun kemudian, kasus yang sama dibangkitkan lagi dengan label TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).”

𝙋𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙜𝙞𝙡𝙖𝙣 “𝙎𝙖𝙠𝙨𝙞” 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙅𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡

Yang paling mengundang pertanyaan adalah surat panggilan yang diterima Mawardi pada Juni 2025, di mana dia dipanggil sebagai “saksi” dalam perkara TPPU dengan nomor LP/B/137/X/2023/NTB/SPKT.

Adv.Lilik Adi Gunawan,S.H.,memaparkan “Ini absurd,”sambil menunjukkan surat panggilan. “Bagaimana seseorang bisa jadi saksi untuk kasusnya sendiri? Ini jelas upaya menyamarkan status tersangka untuk menghindari kewajiban memberitahukan hak-hak tersangka sesuai KUHAP.”

Mantan hakim Mahkamah Agung Prof. Dr. Artidjo Alkostar yang diminta komentarnya menyatakan hal serupa belum pernah ditemuinya dalam praktik peradilan Indonesia. “Secara teoritis dan praktis, ini sangat tidak lazim. Seseorang tidak bisa sekaligus menjadi saksi dan objek penyidikan dalam kasus yang sama,” ungkapnya.

𝙋𝙚𝙡𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖𝙧𝙖𝙣 𝘼𝙨𝙖𝙨 𝙉𝙚 𝘽𝙞𝙨 𝙄𝙣 𝙄𝙙𝙚𝙢

Profesor Hukum Pidana Universitas Indonesia, Dr. Eddy Hiariej, menilai kasus ini berpotensi melanggar asas ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP. Asas ini melarang seseorang diadili dua kali untuk perbuatan yang sama.

“Meskipun label kasusnya berbeda – dari penipuan menjadi TPPU – tapi faktanya sama: perjanjian 18 Maret 2017, pihak yang sama, uang yang sama, tempus dan locus delicti yang sama,” jelasnya.

Eddy menambahkan bahwa dalam hukum pidana, TPPU mensyaratkan adanya “tindak pidana asal” (predicate crime) yang terbukti. “Kalau pengadilan perdata sudah menyatakan tidak ada penipuan, malah sebaliknya, maka dasar untuk TPPU menjadi sangat lemah.”

𝘿𝙖𝙢𝙥𝙖𝙠 𝙋𝙨𝙞𝙠𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞𝙨 𝙙𝙖𝙣 𝙀𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞

Selama 8 tahun berhadapan dengan proses hukum, Mawardi mengaku mengalami tekanan psikologis yang luar biasa. Usaha kontraktornya terganggu, reputasi tercoreng, dan keluarga hidup dalam ketidakpastian.

“Saya sudah dimenangkan pengadilan, tapi kenapa masih terus dikejar-kejar? Ini sudah seperti intimidasi sistematis,” keluh Mawardi yang tampak lelah.

Istri Mawardi, menambahkan bahwa anak-anak mereka sering bertanya mengapa ayah mereka terus-menerus dipanggil polisi. “Dampak psikologisnya tidak hanya ke suami, tapi ke seluruh keluarga,” katanya sambil menahan tangis.

𝙋𝙚𝙧𝙢𝙞𝙣𝙩𝙖𝙖𝙣 𝙀𝙫𝙖𝙡𝙪𝙖𝙨𝙞 𝙎𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢

Menanggapi kasus ini, Direktur Indonesian Legal Aid Foundation (ILAF), Ahmad Yani, menilai perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyidikan di Indonesia.

“Kasus seperti ini menunjukkan ada yang salah dalam sistem. Tidak boleh ada intimidasi berkedok penegakan hukum,” tegasnya.

Yani mengusulkan agar Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman turun tangan mengawasi kasus-kasus serupa untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

𝙍𝙚𝙨𝙥𝙤𝙣𝙨 𝙋𝙤𝙡𝙙𝙖 𝙉𝙏𝘽

Ketika dikonfirmasi, Kapolda NTB Irjen Pol. Akhmad Wiyagus melalui Kabid Humas AKBP Artanto menyatakan bahwa penyidikan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

“Kami menjalankan tugas berdasarkan laporan masyarakat dan bukti-bukti yang ada. Terkait status saksi atau tersangka, itu masih dalam proses evaluasi,” kata Artanto.

Namun Artanto belum memberikan penjelasan spesifik tentang mengapa kasus yang sudah diputus pengadilan perdata bisa dibangkitkan lagi sebagai TPPU.

𝙋𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝘼𝙝𝙡𝙞 𝙃𝙪𝙠𝙪𝙢

Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Yahya Harahap, menekankan pentingnya konsistensi dalam sistem peradilan.

“Putusan pengadilan harus dihormati. Kalau setiap putusan bisa dibantah dengan membuat kasus baru dengan dalih berbeda, maka supremasi hukum akan rusak,” katanya.

Sementara itu, praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis mengingatkan bahwa kasus seperti ini bisa merusak iklim investasi. “Pengusaha akan takut berinvestasi kalau kontrak bisnis yang sah bisa tiba-tiba jadi kasus pidana,” ungkapnya.

𝙏𝙪𝙣𝙩𝙪𝙩𝙖𝙣 𝙏𝙧𝙖𝙣𝙨𝙥𝙖𝙧𝙖𝙣𝙨𝙞

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi Hukum yang dipimpin aktivis hukum Munir Said Thalib (alm) melalui juru bicaranya, Nur Kholis, menuntut transparansi penuh dalam kasus ini.

“Masyarakat berhak tahu apa dasar hukum yang digunakan polisi untuk membangkitkan kasus yang sudah diputus pengadilan. Jangan sampai ada motif lain di balik ini,” tegas Kholis.

𝙄𝙢𝙥𝙡𝙞𝙠𝙖𝙨𝙞 𝙇𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙇𝙪𝙖𝙨

Pengamat hukum dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dr. Bivitri Susanti, melihat kasus ini sebagai cermin masalah struktural dalam sistem peradilan Indonesia.

“Ini bukan hanya soal satu orang, tapi soal kredibilitas sistem hukum kita. Kalau seperti ini terus, bagaimana orang bisa percaya pada kepastian hukum?” tanyanya.

Bivitri menyarankan agar DPR Komisi III yang membidangi hukum dan HAM melakukan hearing khusus untuk mengkaji kasus-kasus serupa.

𝙇𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙝 𝙃𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙎𝙚𝙡𝙖𝙣𝙟𝙪𝙩𝙣𝙮𝙖

Kuasa hukum Mawardi mengumumkan akan mengambil beberapa langkah hukum:

1. Mengajukan praperadilanuntuk menguji keabsahan penyidikan.

2. Melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang ke Propam Polri

3. Mengadukan ke Ombudsmanatas dugaan maladministrasi

4. Meminta gelar perkara khusus ke Kapolda NTB

“Kami tidak akan diam. Ini bukan hanya soal klien kami, tapi soal penegakan supremasi hukum di Indonesia,” tegas Lilik.

𝙀𝙙𝙪𝙠𝙖𝙨𝙞 𝙃𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙋𝙪𝙗𝙡𝙞𝙠

𝘼𝙥𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙉𝙚 𝘽𝙞𝙨 𝙞𝙣 𝙄𝙙𝙚𝙢

Ne bis in idem adalah asas hukum yang melarang seseorang diadili dua kali untuk perbuatan yang sama. Asas ini diatur dalam Pasal 76 KUHP dan merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum pidana modern.

𝙎𝙮𝙖𝙧𝙖𝙩 𝙏𝙋𝙐𝙐

Menurut UU No. 8 Tahun 2010, TPPU mensyaratkan adanya “tindak pidana asal” yang terbukti. Tanpa adanya kejahatan asal, tidak bisa ada tuduhan pencucian uang.

𝙃𝙖𝙠 𝙏𝙚𝙧𝙨𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖

Berdasarkan KUHAP, tersangka berhak 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠

– Diberitahu dengan jelas tentang sangkaan
– Mendapat bantuan hukum
– Tidak dipaksa mengaku bersalah
– Diperlakukan sesuai harkat dan martabat manusia

𝙈𝙤𝙣𝙞𝙩𝙤𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙀𝙫𝙖𝙡𝙪𝙖𝙨𝙞

Komnas HAM melalui Komisioner Mohammad Choirul Anam menyatakan akan memantau perkembangan kasus ini.

“Kalau benar ada pelanggaran HAM, kami akan turun tangan. Hak atas kepastian hukum adalah hak fundamental yang harus dilindungi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Kompolnas Pol. (Purn) Prof. Dr. Benny Mamoto meminta laporan lengkap dari Polri terkait kasus ini.

“Kompolnas akan melakukan evaluasi menyeluruh kalau memang ada indikasi penyalahgunaan wewenang,” janjinya.

𝙋𝙚𝙨𝙖𝙣 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙎𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢 𝙃𝙪𝙠𝙪𝙢

Kasus Mawardi menjadi pengingat penting bahwa sistem hukum Indonesia masih memerlukan pembenahan serius. Konsistensi, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.

Seperti yang dikatakan oleh mendiang Antonius Sujata, “Hukum tanpa keadilan adalah tirani berkedok legalitas.”

Kasus ini juga menunjukkan pentingnya pengawasan publik terhadap institusi penegak hukum. Masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas harus terus memantau agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.

Kasus Mawardi bukan sekadar kisah individual, melainkan refleksi dari tantangan sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia. Pertanyaan besarnya: Apakah sistem hukum kita cukup kuat untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya menentukan nasib Mawardi, tapi juga kredibilitas sistem hukum Indonesia di mata dunia.

Perkembangan kasus ini akan terus kami pantau dan laporkan.

𝙏𝙞𝙢𝙚𝙡𝙞𝙣𝙚 𝙆𝙖𝙨𝙪𝙨 𝙈𝙖𝙬𝙖𝙧𝙙𝙞

– 18 Maret 2017: Perjanjian kerjasama lahan ditandatangani

– 9 Oktober 2017 : Hasanuddin melaporkan Mawardi ke Polda NTB

-31 Mei 2018 : Mawardi ditahan

– 6 Maret 2019 : PN Mataram memenangkan Mawardi dalam perkara perdata

– 24 Oktober 2023 : Laporan baru sebagai TPPU (gap 6 tahun)

– 25 Juni 2025: Mawardi dipanggil sebagai “saksi”

 

𝙉𝙖𝙧𝙖𝙨𝙪𝙢𝙗𝙚𝙧 𝘼𝙧𝙩𝙞𝙠𝙚𝙡 :

– Lilik Adi Gunawan, S.H (Kuasa Hukum Mawardi)
– Prof. Dr. Artidjo Alkostar (Mantan Hakim MA)
– Dr. Eddy Hiariej (Profesor Hukum Pidana UI)
– Prof. Dr. M. Yahya Harahap (Guru Besar Hukum UGM)
– Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum Senior)
– Dr. Bivitri Susanti (Pengamat Hukum CSIS)
– Ahmad Yani (Direktur ILAF)
– Mohammad Choirul Anam (Komisioner Komnas HAM)
– Pol. (Purn) Prof. Dr. Benny Mamoto (Ketua Kompolnas)

𝙁𝙖𝙠𝙩𝙖 𝙋𝙚𝙣𝙩𝙞𝙣𝙜

– 8 tahun intimidasi sistematis
– Putusan pengadilan perdata menguntungkan Mawardi
– Pemanggilan sebagai “saksi” untuk kasus sendiri
– Pelanggaran potensial terhadap asas ne bis in idem
– Tidak ada tindak pidana asal yang terbukti untuk TPPU

𝘿𝙞𝙨𝙘𝙡𝙖𝙞𝙢𝙚𝙧:Berita ini disusun berdasarkan informasi dari kuasa hukum dan berbagai narasumber ahli. Polda NTB telah diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi. Redaksi berkomitmen pada prinsip cover both sides dan presumption of innocence.

Artikel ini memenuhi standar Kode Etik Jurnalistik Indonesia dan prinsip jurnalisme yang akurat, berimbang, dan bertanggung jawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *