Pembangunan Smelter Timah Babel: Klaim 70 Persen Tenaga Lokal, Manajemen SDM atau Sekadar Angka?*

Blog86 Dilihat

Babelbersuara.com

Oleh : Rio Rahmatullah
Mahasiswa Magister Manajemen
Universitas Bangka Belitung

Ketika pemerintah pusat mencanangkan hilirisasi industri tambang sebagai salah satu motor ekonomi nasional, Bangka Belitung langsung menjadi sorotan. Provinsi kepulauan ini memiliki cadangan timah yang melimpah dan sejarah panjang sebagai penghasil logam putih yang telah menjadi identitas daerah. Kini, ketika smelter-smelter baru berdiri di berbagai titik, euforia ekonomi pun tumbuh. Pemerintah daerah menegaskan bahwa hilirisasi ini bukan hanya tentang logam timah, tetapi tentang masa depan ekonomi masyarakat Babel.
Namun di tengah semangat industrialisasi, muncul klaim yang cukup menggelitik: 70 persen tenaga kerja di smelter berasal dari masyarakat lokal. Angka ini kerap dijadikan bukti bahwa investasi smelter membawa manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Pernyataan itu menggema di berbagai forum resmi dan pemberitaan, bahkan dijadikan simbol keberhasilan kebijakan ketenagakerjaan daerah. Tapi benarkah angka ini mencerminkan kemajuan manajemen sumber daya manusia (SDM)? Ataukah ia hanya sekadar angka statistik tanpa makna substantif?
Kita perlu berhenti sejenak dan menelaah klaim tersebut secara kritis. Dalam teori pembangunan ekonomi daerah, partisipasi masyarakat lokal dalam proyek industri strategis memang menjadi tolok ukur penting keberhasilan pembangunan. Namun partisipasi yang dimaksud bukan hanya soal jumlah orang yang dipekerjakan, melainkan sejauh mana mereka mendapatkan transfer keterampilan, kesempatan berkarier, dan kesejahteraan yang layak. Tanpa dimensi itu, angka 70 persen tidak lebih dari kosmetik kebijakan.

*Antara Potensi Alam dan Tantangan Manusia*

Bangka Belitung memiliki kekayaan alam luar biasa. Namun seperti banyak wilayah kaya sumber daya lainnya, Babel juga menghadapi paradoks klasik: sumber daya alam berlimpah, tetapi sumber daya manusia terbatas. Ketika smelter berdiri megah di Muntok, Sungailiat, dan beberapa kawasan industri lainnya, muncul pertanyaan: apakah masyarakat Babel siap bersaing di industri yang menuntut kompetensi tinggi?
Menurut Gary Dessler (2015), manajemen SDM bukan hanya proses administratif, melainkan strategi untuk menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Ini mencakup rekrutmen yang selektif, pelatihan yang berkelanjutan, serta evaluasi kinerja yang adil. Dalam konteks Babel, manajemen SDM menjadi tantangan besar karena banyak tenaga kerja lokal berasal dari latar belakang non-industri. Mereka lebih terbiasa dengan pekerjaan tambang tradisional atau sektor jasa, bukan dengan sistem kerja industri modern yang ketat, terukur, dan berbasis teknologi.
Sementara itu, Hasibuan (2017) menekankan pentingnya perencanaan dan pengendalian SDM. Tanpa perencanaan matang, perusahaan akan sulit memanfaatkan potensi tenaga kerja lokal secara optimal. Rekrutmen besar-besaran tanpa pengembangan kompetensi hanya akan menciptakan tenaga kerja “musiman” — yang mudah diganti, kurang produktif, dan tidak punya prospek jangka panjang.
Di sisi lain, masyarakat lokal sendiri menghadapi dilema. Banyak dari mereka yang merasa tertarik bekerja di smelter karena dianggap bergengsi dan menjanjikan gaji tetap. Namun realitas di lapangan sering kali tidak seindah ekspektasi. Pekerjaan berat, jam kerja panjang, serta risiko kecelakaan industri membuat banyak pekerja lokal hanya bertahan sebentar. Ini menunjukkan bahwa masalah SDM di Babel bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga kesiapan mental dan budaya kerja.

*Membaca Angka Pengangguran: Antara Data dan Realitas*
Berdasarkan data BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 3,93 persen. Sekilas, angka ini tergolong rendah dibandingkan daerah lain. Namun, BPS juga mencatat bahwa sekitar 62 persen tenaga kerja di Babel masih bekerja di sektor non-formal, seperti perdagangan kecil, pertanian, dan jasa rumah tangga. Sektor industri pengolahan hanya menyerap sebagian kecil dari total tenaga kerja.
Artinya, peluang kerja di industri smelter belum sepenuhnya mampu mengubah struktur tenaga kerja lokal. Bahkan, masih banyak lulusan SMA dan sarjana di Babel yang kesulitan masuk ke sektor industri karena mismatch antara keterampilan yang mereka miliki dan kebutuhan industri. Di sisi lain, perusahaan smelter kerap mengeluhkan kekurangan tenaga kerja siap pakai di bidang teknik mesin, kelistrikan, dan manajemen produksi. Akibatnya, tenaga kerja dari luar daerah — bahkan dari luar provinsi — masih banyak didatangkan untuk posisi teknis dan manajerial.
Dalam situasi ini, klaim 70 persen tenaga kerja lokal perlu ditafsirkan dengan hati-hati. Bisa jadi angka tersebut mencakup pekerja tidak tetap, buruh harian, atau tenaga kontrak jangka pendek. Jika posisi inti dan strategis masih dikuasai oleh tenaga luar, maka klaim tersebut hanya menunjukkan partisipasi semu. Fenomena ini sejalan dengan analisis Armstrong (2014) yang menyebut bahwa pengelolaan SDM yang lemah akan menciptakan ketimpangan antara pekerja inti dan pekerja pinggiran. Dalam konteks Babel, ketimpangan ini terlihat dari kesenjangan gaji, posisi, dan kesempatan pelatihan antara tenaga lokal dan non-lokal.

*Manajemen SDM: Dari Angka Menuju Kualitas*
Manajemen SDM yang efektif tidak sekadar mempekerjakan orang, tetapi mengembangkan mereka. Flippo (1984) menegaskan bahwa SDM adalah aset yang dapat tumbuh nilainya jika diinvestasikan dengan benar. Perusahaan smelter di Babel seharusnya menjadikan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja sebagai prioritas strategis, bukan biaya tambahan. Sayangnya, banyak pelatihan di lapangan masih bersifat formalitas. Beberapa perusahaan hanya menggelar pelatihan dasar tanpa tindak lanjut atau evaluasi kinerja pasca-pelatihan. Akibatnya, tidak terjadi peningkatan kompetensi yang signifikan.
Padahal, jika pelatihan dilakukan dengan benar, hasilnya bisa luar biasa. Contohnya di sektor migas dan pertambangan di Kalimantan, banyak perusahaan yang berhasil mencetak tenaga kerja lokal berkelas nasional melalui program pelatihan vokasi dan sertifikasi profesi. Hal serupa bisa dilakukan di Babel, dengan melibatkan lembaga pelatihan dan universitas lokal seperti Universitas Bangka Belitung (UBB) sebagai mitra industri. Manajemen SDM juga harus mencakup sistem evaluasi yang transparan. Setiap pekerja lokal harus memiliki kesempatan yang sama untuk naik jabatan berdasarkan kinerja dan kompetensi, bukan asal daerah. Ini sejalan dengan prinsip “the right man on the right place” yang menjadi fondasi utama manajemen SDM modern.

*Sinergi Pendidikan, Pemerintah, dan Industri*
Salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan industri di Babel adalah lemahnya sinergi antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Banyak sekolah kejuruan (SMK) di Babel yang masih menggunakan kurikulum lama, tidak sesuai dengan kebutuhan teknologi smelter. Lulusan SMK teknik, misalnya, belum familiar dengan perangkat kontrol industri modern atau sistem keselamatan kerja berbasis digital.
Pemerintah daerah sebenarnya sudah mulai mendorong pelatihan berbasis kompetensi melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Namun, kapasitas BLK terbatas dan tidak semua programnya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Kolaborasi antara dunia usaha dan pendidikan harus ditingkatkan, misalnya melalui program magang industri, kelas industri di SMK, dan joint training center.
Dalam teori Ulrich (1997), HR harus menjadi strategic partner — bukan sekadar pelaksana administrasi. Artinya, manajemen SDM di perusahaan smelter harus bekerja sama dengan pemerintah dan akademisi untuk menciptakan ekosistem SDM yang tangguh. Dengan sinergi itu, Babel tidak hanya menjadi daerah tambang, tetapi pusat industri timah yang mandiri.

*Kesejahteraan Pekerja: Tolok Ukur Keberhasilan Nyata*
Kualitas SDM juga erat kaitannya dengan kesejahteraan. Banyak pekerja lokal yang mengeluhkan upah rendah dan fasilitas kerja yang minim. Di beberapa lokasi smelter, pekerja lokal mendapatkan gaji mendekati upah minimum regional (UMR), sedangkan pekerja luar dengan posisi serupa memperoleh upah lebih tinggi karena dianggap memiliki keahlian lebih. Kondisi ini menciptakan rasa ketidakadilan yang berpotensi memicu konflik sosial. Hasibuan (2017) menegaskan bahwa kompensasi yang adil dan proporsional adalah faktor penting untuk menjaga motivasi kerja. Jika tenaga kerja lokal terus diperlakukan sebagai tenaga murah, maka semangat kerja akan menurun dan produktivitas pun ikut merosot.
Selain upah, aspek keselamatan dan kesehatan kerja juga perlu diperhatikan. Industri smelter memiliki risiko tinggi, mulai dari paparan panas ekstrem hingga bahaya logam berat. Tanpa perlindungan kerja yang memadai, pekerja lokal bisa menjadi korban dari pembangunan industri yang seharusnya menyejahterakan mereka.Perusahaan perlu menjadikan kesejahteraan dan keselamatan kerja sebagai bagian dari strategi manajemen SDM. Dengan memberikan jaminan yang layak, perusahaan bukan hanya membangun citra positif, tetapi juga meningkatkan loyalitas dan efisiensi kerja.

*Refleksi Sosial: Dari Tambang Tradisional ke Industri Modern*
Transformasi industri di Babel tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada budaya kerja masyarakat. Dulu, penambang timah tradisional bekerja secara mandiri, tanpa hierarki atau aturan ketat. Kini, mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem kerja industri modern yang serba terukur dan berorientasi hasil. Perubahan ini tidak selalu mudah. Banyak pekerja lokal yang masih beradaptasi dengan disiplin kerja, sistem absensi digital, dan standar keselamatan yang ketat. Di sinilah peran manajemen SDM menjadi krusial — bukan hanya untuk mengelola tenaga kerja, tetapi juga untuk mendidik dan membentuk mental pekerja industri modern.Program pelatihan soft skill seperti kepemimpinan, komunikasi, dan kerja tim perlu diperkuat. Selain itu, pendekatan humanis juga penting agar tenaga lokal tidak merasa teralienasi di tanah sendiri. Manajemen SDM yang baik harus mampu menumbuhkan rasa bangga dan kepemilikan terhadap industri yang mereka bangun.

*Membangun Industri, Membangun Manusia*
Pembangunan industri smelter di Bangka Belitung memang membuka peluang besar. Namun keberhasilan sejati tidak diukur dari jumlah pabrik yang berdiri, melainkan dari seberapa besar masyarakat lokal benar-benar menjadi bagian dari kemajuan itu. Klaim 70 persen tenaga kerja lokal akan memiliki makna hanya jika diiringi dengan peningkatan kualitas, kesejahteraan, dan kesempatan karier. Manajemen SDM yang strategis harus memastikan bahwa tenaga lokal tidak hanya dipekerjakan, tetapi juga dikembangkan dan dilindungi.
Pada akhirnya, pembangunan industri sejati bukan hanya soal logam timah yang diproses, tetapi tentang manusia Babel yang berdaya. Tanpa penguatan SDM lokal, hilirisasi hanya akan menjadi kemajuan semu indah di atas kertas, tetapi rapuh di akar.Bangka Belitung tidak hanya butuh smelter yang berdiri megah, tetapi juga manusia Babel yang berdiri tegak, berkompeten, dan sejahtera di tanahnya sendiri. Hanya dengan itulah, klaim “70 persen tenaga kerja lokal” akan berubah dari sekadar angka menjadi kenyataan yang hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *